AI dan Masa Depan Pekerjaan: Antara Ancaman Pengangguran dan Harapan Ekonomi Baru -->

Header Menu

AI dan Masa Depan Pekerjaan: Antara Ancaman Pengangguran dan Harapan Ekonomi Baru

Jurnalkitaplus
22/10/25



Jurnalkitaplus - Perdebatan global tentang dampak kecerdasan buatan (AI) terhadap lapangan kerja terus memanas. Sejumlah pakar memperingatkan kemungkinan gelombang pengangguran massal, sementara lembaga internasional menilai AI justru membuka peluang kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Gelombang Kekhawatiran Awal  
Geoffrey Hinton, ilmuwan komputer peraih Nobel yang dikenal sebagai “bapak AI,” memperingatkan bahwa teknologi ini bisa menciptakan pengangguran massal dan memperlebar jurang ekonomi antara elit kaya dan masyarakat pekerja. Ia menegaskan bahwa masalah utamanya bukan AI itu sendiri, melainkan kapitalisme yang memungkinkan segelintir orang menggantikan tenaga manusia dengan algoritma demi efisiensi maksimal.

Penelitian dari Stanford memperkuat peringatan tersebut. Data menunjukkan bahwa pekerja muda usia 22–25 tahun di sektor paling terdampak AI mengalami penurunan pekerjaan hingga 13 persen sejak 2022. Hantaman paling berat dirasakan oleh posisi entry-level di bidang administrasi, dukungan IT, dan layanan pelanggan.

Ketimpangan Gender yang Mengemuka  
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengungkap sisi lain dari transformasi digital ini: perempuan jauh lebih berisiko kehilangan pekerjaan dibanding laki-laki. Sekitar 27,6 persen pekerjaan perempuan di seluruh dunia terancam otomatisasi, dibanding 21,1 persen pada laki-laki. Penyebab utamanya adalah dominasi perempuan di sektor-sektor seperti administrasi dan pendidikan, yang sangat mudah tergantikan oleh AI generatif.

Optimisme dan Peluang Baru  
Namun, sejumlah laporan besar menghadirkan pandangan lebih optimistis. World Economic Forum (WEF) memperkirakan bahwa AI akan menciptakan 170 juta pekerjaan baru hingga 2030, bahkan setelah 92 juta lainnya tergantikan oleh otomatisasi. Peran baru muncul dalam bidang spesialis data besar, etika AI, hingga manajemen kolaborasi manusia-mesin.

Laporan PwC 2025 juga menunjukkan korelasi positif antara penerapan AI dan peningkatan produktivitas hingga empat kali lipat, dengan gaji rata-rata meningkat 56 persen di sektor-sektor yang berhasil mengintegrasikan AI secara efektif. Studi ini menegaskan bahwa penggunaan AI tidak serta-merta menghapus pekerjaan, melainkan mendorong transformasi peran dan keterampilan.

Realitas Transisi yang Tidak Mudah  
Perusahaan ritel besar seperti Walmart menjadi contoh perubahan struktural ini. Walau beberapa posisi di bidang logistik berkurang karena otomatisasi, perusahaan justru membuka lapangan kerja baru bagi teknisi dan pengembang sistem AI internal. Namun, pergeseran ini menuntut investasi besar dalam pelatihan dan pendidikan ulang tenaga kerja agar mampu bersaing di dunia kerja yang lebih digital.
  
AI kini berdiri di persimpangan antara ancaman dan peluang. Ia bisa menjadi pemicu ketimpangan ekonomi dan gender yang lebih dalam, atau sebaliknya menjadi penggerak pertumbuhan dan inovasi jika diimbangi dengan kebijakan publik yang berpihak pada tenaga kerja. Tantangan globalnya bukan lagi sekadar menghadapi AI—melainkan bagaimana manusia belajar hidup, bekerja, dan tumbuh bersamanya. (FG12)